Thursday, July 08, 2010

SELAMAT DARI POLITIK KANTOR

Tak sehat jika tujuannya untuk mendapatkan pengaruh
kuat, bukan memberi kontribusi bagi perusahaan.

Susilo langsung mengumpat begitu meletakkan gagang teleponnya. Dia baru saja ditelepon atasannya sepagi itu.Rupanya dia ditegur karena kerap berangkat siang.“Saya diminta berangkat lebih pagi dari biasanya,” ujarnya saat dihubungi Kamis lalu.
Pria yang bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah perusahaan bidang komunikasi itu mengakui kerap berangkat siang. Tapi dia berdalih tidak ada jadwal tetap masuk kerja. “Kerja saya di lapangan,”ujarnya. Menurut Susilo, dia bekerja berdasarkan target, bukan waktu.
Panggilan telepon pagi itu juga mengagetkan Susilo karena tidak biasanya bosnya menelepon dan mengingatkan dia tentang masuk kerja. “Target saya juga terpenuhi, bahkan lebih,”katanya.
Merasa ada yang tidak beres, Susilo berencana menemui bosnya sebelum pulang kerja. Setelah mengorek keterangan, dia mengetahui ada rekan sesama tenaga pemasaran yang melaporkan kebiasaannya berangkat siang.
Susilo tersenyum kecut. Dia mulai berprasangka buruk.“ Ada yang iri kepada saya,” katanya. Pria lajang ini menduga ada koleganya yang kurang suka melihat produktivitasnya yang meningkat. Peristiwa ini meyakinkan Susilo bahwa ada yang bermain “politik” dengan cara kurang sehat di kantornya.
Lain lagi cerita Tuhu Nugraha Dewanto, pengamat media daring. Dalam situs PortalHR,Tuhu menceritakan kisah rekannya yang terpojok dalam rapat bersama manajemen perusahaan. Sang teman diadili gara-gara mengunggah foto di Facebook.
Menurut Tuhu,manajemen menilai rekannya bersenangsenang pada saat jam kantor. Rekan Tuhu kaget karena tak menyangka aktivitas pribadi di jejaring itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap dia. Manajemen, ujar Tuhu, mengetahui aktivitas rekannya dari laporan karyawan lainnya.
Setelah peristiwa itu, Tuhu memberi saran kepada rekannya itu agar membatasi jaringan Facebooknya dari rekan satu kantor. Tujuannya agar Facebook tidak dijadikan sarana politik rekan kantor, yang ujung-ujungnya menjatuhkan kredibilitas kita.
Penulis buku Office Politics, Rebecca Luhn Wolfe, mengatakan setiap kantor memiliki budaya masing-masing, yang terbentuk dari beragam politik karyawannya.Mereka berpolitik, baik secara individu maupun berkelompok. Politik kantor merupakan siasat memanfaatkan lingkungan kerja agar tujuan pekerjaan tuntas
dengan baik.
Menurut Wolfe, hampir tak ada kantor yang tidak berpolitik. Situasi ini muncul karena di dalam kantor terdapat beragam orang dan pekerjaan. “Setiap hari mereka bersiasat mencapai tujuan,” katanya. Politik kantor dikatakan sehat jika kompetisi antar karyawan berjalan sehat.
Tapi politik kantor kerap dikonotasikan negatif. Menurut Wolfe, politik kantor seperti itu terlihat seperti
yang dialami oleh Susilo dan rekan Tuhu.Tujuannya untuk mendapatkan pengaruh kuat, bukan memberi kontribusi pada perusahaan.
Konsultan psikologi Diding Supendi menilai sikap terbaik yang perlu diambil saat menjadi korban politik adalah tidak menanggapinya terlalu serius. “Fokus pada pekerjaan saja,”katanya saat dihubungi Rabu lalu. Membalas perlakuan buruk, kata dia, dengan tindakan yang sama justru akan merugikan diri sendiri.
Segala bentuk komunitas informal di kantor sah-sah saja, apalagi menambah produktivitas karyawan.Yang dikhawatirkan adalah jika pengkutuban ini berdampak negatif pada situasi kantor, misalkan saling menjatuhkan. Tapi Diding yakin perusahaan yang memegang teguh asas profesionalisme tidak terpengaruh dinamika politik negatif antarkaryawannya.
Namun, jika terjadi dampak buruk akibat saling hasut antarkaryawan, bos harus turun menangani. Menurut Diding, bos harus bersikap netral. “Bukan menjadi korban hasutan,” katanya. Ia menyarankan, untuk mengurangi dampak buruk dinamika politik seperti ini, komunikasi dengan karyawan mesti ditingkatkan dan diperbaiki.

● AKBAR TRI KURNIAWAN | BERBAGAI SUMBER
Koran TEMPO 27 juni 2010

No comments:

Post a Comment