Monday, December 22, 2008

Sedikit Orang Baik di Republik yang Luas

SEBUAH gagasan yang agak mustahil: mencari 10 bupati atau wali kota sebagai Tokoh Tempo 2008. Bukan karena majalah ini meragukan kecakapan pemimpin daerah. Soalnya, tak mudah memilih yang sedikit itu dari 472 kabupaten dan kota di seantero Tanah Air. Kesulitan datang ketika menetapkan kriteria. Kalau hanya melihat pendapatan asli daerah, sebagai misal, bukankah ini hanya menguntungkan kabupaten yang dari ”sono”-nya memang kaya--daerah yang mungkin diciptakan ketika Tuhan tersenyum, seloroh awak redaksi kami. Bupati berprestasi di daerah miskin pasti tak akan terpilih. Kalau memakai ukuran indeks pembangunan manusia saja, hasilnya akan bias karena ada bupati yang baru memimpin tiga tahun dan ada yang sudah hampir sepuluh tahun. Alhasil, tak mudah mencari sedikit ”orang baik” itu.
Ketika riset awal selesai, kegamangan kami makin menjadi-jadi. Departemen Dalam Negeri mencatat, pada 2004-2006, keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya. Sampai Maret 2007 sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Seorang bupati masuk hotel prodeo. Berbagai anggapan miring tentang otonomi daerah seakan menemui pembenaran: desentralisasi korupsi, kontes yang memunculkan raja-raja kecil. Begitu burukkah?
Seperti juga tahun lalu, ketika kami memilih Tokoh 2007 dari kalangan pejabat birokrasi yang pada umumnya diberi stempel buruk oleh publik, kami yakin masih ada orang yang bekerja bersih dan jujur. Kami sangat yakin bisa menemukan pemimpin daerah yang layak menyandang Tokoh Tempo tahun ini.
Kehadiran dewan juri membantu menebalkan keyakinan itu. Tapi tetap tak gampang menemukan kelebihan tokoh satu dibandingkan yang lain. Ada yang prestasinya menjulang tapi terbelit korupsi, kami pun mencoretnya.
Salah satu juri, Andi Mallarangeng, punya definisi: bupati yang baik harus mampu menggunakan kewenangan untuk menciptakan perbaikan pelayanan publik, pemberdayaan warga, meningkatkan kapasitas daerah. Doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat, itu banyak terlibat dalam persiapan undang-undang otonomi daerah pada 1999. Anak Makassar 45 tahun yang kini juru bicara Presiden itu mengenal hampir semua bupati atau wali kota yang kami jaring dalam seleksi awal.
Andi malam itu ”dipimpin” oleh Agung Pambudi, Sekretaris Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang terpilih secara aklamasi sebagai ketua dewan juri. Doktor Sondi Anwar, staf ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, juga datang sebagai juri. Prof Robert Simanjuntak dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Utama Kajo dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia merupakan anggota juri yang lain.
Juri setuju dengan tiga kriteria kami: pelayanan publik, transparansi, dan keramahan pada dunia usaha. Kami memang mementingkan proses, lebih dari hasil. Setelah kriteria didapat, pembahasan selanjutnya mengalir lancar dan menarik. Para juri benar-benar ”memukau” dengan pengetahuan ”basah” mereka tentang tokoh bupati atau wali kota yang umumnya sudah mereka kenal bertahun-tahun.
Menjelang tengah malam, sebulan lalu di kantor kami, setelah berdiskusi hangat lebih dari empat jam—diselingi gelak tawa, kacang rebus, dan keripik—dewan juri berhasil memilih 10 tokoh itu. Nilai yang didapat tokoh itu juga sangat rapat sehingga kami memutuskan kesepuluh tokoh ini mendapat halaman yang sama dalam edisi khusus kali ini. Namun dewan juri memberikan penghargaan khusus dan nilai lebih pada Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Itu sebabnya kami menempatkannya di halaman pertama edisi khusus kali ini. Jusuf dan sembilan bupati atau wali kota merupakan Tokoh Tempo 2008. Bagi kami, mereka merupakan a few good men....
Kami punya alasan memilih bupati atau wali kota sebagai tokoh tahun ini. Otonomi daerah segera memasuki tahun kesepuluh. Inilah keputusan politik besar yang benar.
Baca lebih lengkap di Majalah TEMPO edisi 22 - 28 Desember 2008
Sumber: www.tempointeraktif.com

No comments:

Post a Comment