SEBUAH gagasan yang agak mustahil: mencari 10 bupati atau wali kota
sebagai Tokoh Tempo 2008. Bukan karena majalah ini meragukan kecakapan
pemimpin daerah. Soalnya, tak mudah memilih yang sedikit itu dari 472
kabupaten dan kota di seantero Tanah Air. Kesulitan datang ketika
menetapkan kriteria. Kalau hanya melihat pendapatan asli daerah,
sebagai misal, bukankah ini hanya menguntungkan kabupaten yang dari
”sono”-nya memang kaya--daerah yang mungkin diciptakan ketika Tuhan
tersenyum, seloroh awak redaksi kami. Bupati berprestasi di daerah
miskin pasti tak akan terpilih. Kalau memakai ukuran indeks pembangunan
manusia saja, hasilnya akan bias karena ada bupati yang baru memimpin
tiga tahun dan ada yang sudah hampir sepuluh tahun. Alhasil, tak mudah
mencari sedikit ”orang baik” itu.
Ketika riset awal selesai, kegamangan kami makin menjadi-jadi.
Departemen Dalam Negeri mencatat, pada 2004-2006, keluar 67 izin
pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya. Sampai Maret 2007 sudah 61
kepala daerah menjadi terpidana. Seorang bupati masuk hotel prodeo.
Berbagai anggapan miring tentang otonomi daerah seakan menemui
pembenaran: desentralisasi korupsi, kontes yang memunculkan raja-raja
kecil. Begitu burukkah?
Seperti juga tahun lalu, ketika kami memilih Tokoh 2007 dari
kalangan pejabat birokrasi yang pada umumnya diberi stempel buruk oleh
publik, kami yakin masih ada orang yang bekerja bersih dan jujur. Kami
sangat yakin bisa menemukan pemimpin daerah yang layak menyandang Tokoh
Tempo tahun ini.
Kehadiran dewan juri membantu menebalkan keyakinan itu. Tapi
tetap tak gampang menemukan kelebihan tokoh satu dibandingkan yang
lain. Ada yang prestasinya menjulang tapi terbelit korupsi, kami pun
mencoretnya.
Salah satu juri, Andi Mallarangeng, punya definisi: bupati yang
baik harus mampu menggunakan kewenangan untuk menciptakan perbaikan
pelayanan publik, pemberdayaan warga, meningkatkan kapasitas daerah.
Doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat,
itu banyak terlibat dalam persiapan undang-undang otonomi daerah pada
1999. Anak Makassar 45 tahun yang kini juru bicara Presiden itu
mengenal hampir semua bupati atau wali kota yang kami jaring dalam
seleksi awal.
Andi malam itu ”dipimpin” oleh Agung Pambudi, Sekretaris
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang terpilih secara
aklamasi sebagai ketua dewan juri. Doktor Sondi Anwar, staf ahli
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, juga datang sebagai
juri. Prof Robert Simanjuntak dari Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia dan Utama Kajo dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia
merupakan anggota juri yang lain.
Juri setuju dengan tiga kriteria kami: pelayanan publik,
transparansi, dan keramahan pada dunia usaha. Kami memang mementingkan
proses, lebih dari hasil. Setelah kriteria didapat, pembahasan
selanjutnya mengalir lancar dan menarik. Para juri benar-benar
”memukau” dengan pengetahuan ”basah” mereka tentang tokoh bupati atau
wali kota yang umumnya sudah mereka kenal bertahun-tahun.
Menjelang tengah malam, sebulan lalu di kantor kami, setelah
berdiskusi hangat lebih dari empat jam—diselingi gelak tawa, kacang
rebus, dan keripik—dewan juri berhasil memilih 10 tokoh itu. Nilai yang
didapat tokoh itu juga sangat rapat sehingga kami memutuskan kesepuluh
tokoh ini mendapat halaman yang sama dalam edisi khusus kali ini. Namun
dewan juri memberikan penghargaan khusus dan nilai lebih pada Jusuf
Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Itu sebabnya kami
menempatkannya di halaman pertama edisi khusus kali ini. Jusuf dan
sembilan bupati atau wali kota merupakan Tokoh Tempo 2008. Bagi kami,
mereka merupakan a few good men....
Kami punya alasan memilih bupati atau wali kota sebagai tokoh
tahun ini. Otonomi daerah segera memasuki tahun kesepuluh. Inilah
keputusan politik besar yang benar.
Baca lebih lengkap di Majalah TEMPO edisi 22 - 28 Desember 2008
Sumber: www.tempointeraktif.com
No comments:
Post a Comment